Pages

Selasa, 27 November 2012

Pantai Jonggring Saloko, Donomulyo


Pantai Jonggring Saloka. Hmm, Jonggring Saloka? Seperti nama kawah Gunung Semeru ya? Yap, nama “Jonggring Saloka” selain digunakan semagai penyebutan kawah Gunung Semeru, juga digunakan sebagai nama sebuah pantai di barat daya Kabupaten Malang ini. Pantai Jonggring Saloka berada di daerah kecamatan Donomulyo, desa Sumberoto, Kabupaten Malang. Sekedar informasi, konon pantai ini merupakan pantai paling barat dari rangkaian pantai yang dimiliki Malang, dan setelah melewati pantai ini, bagian baratnya sudah masuk wilayah Kecamatan Wates, Kabupaten Blitar.

Hmm, sebelumnya aku tidak percaya sih kalau pantai ini merupakan pantai paling barat di Kab. Malang, dan seindah apa sih pantainya? Maka dari itulah rasa penasaranku muncul, dan akhirnya aku pun memutuskan berangkat untuk mengeksplore daerah tersebut..hehehe

Pantai jonggring saloko terletak ± 11km dari desa donomulyo yaitu didesa mentaraman menuju dusun gondangtowo ujung selatan. Jalan menuju pantai yang juga tergolong sulit ,jalan berbatuan serta di kelilinggi pepohonan di ruas jalan, medan tanah liat yang ekstrim dan pabila kaluk musim penghujan menjadi medan lumpur dingin yang sangat menguras fisik dan tenaga sehingga pantai jonggring saloko saat ini jarang pengunjungnya. Selain jalannya yang rusak daerah pantai juga tak terawat dengan baik, gapura pantai terlihat kumuh bahkan terlihat angker ditambah dengan gubuk gubuk bekas warung dan tempat parkir yang hampir roboh.sebenarnya pantai jonggring saloko sangatlah indah dan menarik sebagai tempat rekreasi, yang mana terdapat beberapa lokasi, yaitu adanya bross, dan adanya cob belut.


Disore hari kita bisa melihat Sunset yang indah (matahari terbenam). dan saat sunset tiba, anda akan melihat betapa air laut berubah menjadi jingga terbias cahaya sang surya. Keelokkan berikutnya adalah COB BELUT. yang dimaksud dengan cob belut sebenarnya adalah Fenoma alam dimana ombak yang datang akan terhisap kesebuah lubang dan tak lama kemudian ketika ombak surut, lubang tersebut akan memuntahkan kembali air laut yang terhisap tadi keatas sehingga air laut kembali ada.Muntahan air tersebut akan berbentuk seperti payung raksasa jika anda melihat fenomena ini dari HIGH VIEW.


Fenomena alam berikutnya yang tak kalah dahsyatnya adalah  WATU NGEBROSSS .Kejadiaan alam ini sebenarnya hampir sama dengan cob belut hanya saja lubang yang menghisap air yang datang mempunyai celah sedikit lebih sempit sehingga tekanan air laut yang dikeluarkan lebih besar hingga mampu mengeluarkan suara BROSSS. Oleh Karena itu masyarakat sekitar memberi nama NGEBROSS yang berasal dari suara yang dikeluarkan oleh tekanan air laut.Butir – butir air yang keluar bersama semburan jika terkena sinar matahari yang terik akan membiaskan beragam warna seindah pelangi.

NB : Berbagai Sumber 

Taurus Vocation

Senin, 26 November 2012

Pantai Licin, Ampel Gading


Selain Pantai Sendang Biru dan Pantai Balekambang yang memang menjadi primadona wisata pantai di Malang Selatan, ada satu lagi pantai yang layak untuk Ngalamers kunjungi. Nama pantai yang tidak kalah indahnya ini adalah Pantai Licin.

Pantai Licin terletak di Dusun Licin, Desa Lebakharjo, Kecamatan Ampelgading, Kabupaten Malang. Jalan menuju Pantai Licin secara umum tergolong baik, hanya ada beberapa bagian yang rusak. Kendala terletak pada medan yang sedikit berat bagi Ngalamers. Selama perjalanan menuju Pantai Licin pengunjung akan menemui jalan naik turun bukit yang berliku-liku. Jalan menuju Pantai Licin dari Desa Lebakharjo juga hanya bisa ditempuh menggunakan sepeda motor. Tapi jangan mengendarai sepeda motor jenis matic ya karena pasti tidak akan kuat.

Sesampai di Pantai Licin, Ngalamers akan disambut oleh hamparan pasir yang berwarna hitam. Sungguh menarik ya karena kan umumnya pantai memiliki pasir berwarna putih. Pasir hitam ini ternyata berasal dari aliran lahar Gunung Semeru yang bermuara di sisi timur Pantai Licin. Dari kejauhan pengunjung juga dapat melihat Pulau Nusa Barung yang masuk wilayah Kabupaten Jember.

Pemandangan yang menakjubkan adalah ketika menyaksikan matahari terbit di Pantai Licin. Maklum, pemandangan di pantai yang terletak di Kecamatan Ampelgading, Kabupaten Malang ini baru kali pertama bagi saya. Awalnya tidak ada rencana untuk sengaja menunggu momen matahari terbit di pantai yang berbatasan dengan Kabupaten Lumajang tersebut. Karena memang awalnya kami berencana berkemah di sekitar pantai tersebut pada malam hari. tapi karena perjalanan menuju ke sana ternyata cukup sulit, sehingga membutuhkan waktu yang panjang pula.matahari yang kemerahan muncul dari garis air laut. Sungguh di luar dugaan saya.Mungkin kalau waktu itu perjalanannya lancar dan sampai tiba di pantai tengah malam, belum tentu saya bisa menyaksikan indahnya matahari terbit.

NB : Berbagai Sumber 

Taurus Vocation

Candi Sumberawan, Singosari


Setelah berwisata sejarah ke Candi Singosari, Ngalamers dapat melanjutkan perjalanan ke Candi Sumberawan yang berjarak sekitar 1 km. Tepatnya di Desa Toyomarto, Kecamatan Singosari, Kabupaten Malang. Tapi jangan pernah membayangkan akan menemui sebuah bangunan candi layaknya saat Ngalamers berkunjung ke Candi Singosari, karena Candi Sumberawan hanya berbentuk stupa.

Candi ini merupakan peninggalan Kerajaan Singhasari yang dibangun sekitar akhir abad ke 14 atau awal abad ke 15. Candi yang pertama kali ditemukan pada tahun 1904 ini pernah dipugar dibagian kaki pada tahun 1937. Candi Sumberawan berbentuk bujur sangkar dan hanya terdiri atas kaki dan badan yang berbentuk stupa. Pada batur candi terdapat selasar atau beranda, kakinya memiliki penampil pada keempat sisinya. Karena termasuk candi Budha, Candi Sumberawan menjadi sangat ramai saat Waisak karena banyak penganut Budha yang datang untuk merayakan kehidupan Sang Budha.



Selain penganut Budha yang datang untuk beribadat, candi ini juga banyak didatangi oleh para wisatawan. Selain untuk melihat Candi Sumberawan, para wisatawan itu juga ingin menikmati pemandangan sekitar candi yang terkenal sejuk karena terletak di kaki Gunung Arjuno. Sebagai tambahan, candi ini juga memiliki sebuah telaga yang airnya jernih dan dingin. Masyarakat sekitar percaya bahwa telaga ini memiliki pengaruh besar untuk kesehatan. Jadi, jangan heran jika banyak pengunjung yang mandi di telaga ini.

Candi Sumberawan ditemukan pada tahun 1904, terbuat dari batu andesit dengan ukuran  panjang 6,25m, lebar 6,25 m, dan tinggi 5,23 m berbentuk segi delapan dengan susunan batu berbentuk genta (stupa) yang puncaknya telah hilang.  Candi ini berupa stupa sehingga tidak bisa dinaiki. dan tidak memiliki relief.

Di depan taman samping  candi ada prasasti batu berbentuk persegi empat setinggi 4 cm. Tulisan berbahasa belanda pada prasasti itu kini sudah hampir terkikis, isinya berisi kalau candi ini direstorasi oelh pemerinta Hindia Belanda tahun 1937.

Candi Sumberawan dipercaya merupakan alat transformasi untuk mengubah mata air yang ada di bawahnya menjadi air kehidupan atau air suci, yang dalam sansekerta disebut amerta. Amerta merupakan air para dewa yang dipercaya sebagai air keabadian. Sehingga candi ini dikait-kaitkan dengan kekuatan magis. Secara rutin setiap memasuki bulan Suro (sekitar bulan Agustus) masyarakat  desa sekitar melakukan acara Selamatan Sumber. Tumpeng pun dipersembahkan sebagai ungkapan rasa syukur atas mengalirnya mata air sumberawan yang telah menghidupi ribuan jiwa. sebagian orang juga datang kesini untuk memanjatkan doa, memohon keselamatan di salah satu ruang ujung kawasan candi terdapat ruang khusus untuk semedi.

NB : Berbagai Sumber Taurus Vocation

Candi Badut, Karang Besuki Sukun


Satu lagi wisata sejarah yang berada di kota Malang, yaitu Candi Badut. Tapi tunggu, candi ini tidak berbentuk badut seperti namanya. Nama Badut sendiri berasal dari bahasa Sansekerta "Bha-Dyut" yang berarti sorot Bintang Canopus atau sorot Agastya.


Candi Badut berlokasi sekitar 10 km dari pusat kota Malang, tepatnya di Desa Karangbesuki, Kecamatan Dau, Kabupaten Malang. Meskipun cukup terkenal, tapi candi ini jarang sekali dikunjungi oleh para wisatawan. Mungkin karena lokasinya yang agak terpencil yang mengharuskan Ngalamers melewati pemukiman penduduk untuk sampai ke lokasi.

Candi yang berusia sekitar 1400 tahun ini diyakini sebagai peninggalan prabu Gajayana yang merupakan penguasa Kanjuruhan pada waktu itu. Candi Badut pertama kali ditemukan oleh Maureen Brecher, seorang warga Belanda, pada tahun 1921. Saat pertama kali ditemukan, candi ini masih berupa gundukan bukit batu, reruntuhan, serta tanah. Setelah dilakukan pemugaran diketahui bahwa bangunan candi ini sebenarnya telah runtuh, dan yang tersisa hanyalah bagian kaki. Sama seperti bagian tubuh candi yang telah hancur, beberapa arca yang ditemukan juga banyak yang tidak utuh lagi; seperti arca Ganesha, arca Agastya, serta arca Mahakal dan Nadiswara. Hanya arca Durga Mahesasuramardhini saja yang tersisa. Tapi semua itu tidak mengurangi keindahan dan nilai sejarah dari Candi Badut itu sendiri.

Situs candi badut terletak di Dukuh Gasek, Kelurahan Karang Besuki, Kecamatan Sukun Kodya Malang. Candi ini ditemukan tahun 1921 di mana bentuknya saat itu hanya berupa gundukan bukit batu, reruntuhan dan tanah. Orang pertama yang memberitakan keberadaan Candi Badut adalah Maureen Brecher, seorang kontrolir bangsa Belanda yang bekerja di Malang. Candi Badut dibangun kembali tahun 1925-1927 di bawah pengawasan B. De Haan dari Jawatan Purbakala Hindia Belanda. Candi Badut dipugar lebih baik lagi tahun 1992-1993 oleh Suaka Purbakala Jawa Timur.

Dilihat bentuknya, Candi Badut mirip dengan candi-candi dijawa tengah periode abad ke-8 hingga ke-10 terutama dikawasan dataran tinggi Dieng seperti Candi Gedong Songo. Bahan Candi terbuat dari batu. Kaki candi pols tidak berhias. Pintu masuk diberi penampil. Kalamakara yang menghias bagian atas pintu tidak memakai rahang bawah.

Nama Badut berasal dari bahasa Sansekerta “Bha-dyut” yang berarti Sorot Bintang Canopus atau Sorot Agastya. Dilihat dari nama candi, maka Candi Badut adalah candi bersifat Syiwaistik dimana Dewa Syiwa dipuja sebagai Agastya atay Bhatara Guru. Hal itu terlihat pada ruangan induk candi yang berisi sebuah pasangan arca tidak nyata dari Syiwa dan Parwati dalam bentuk lingga dan yoni. Pada bagian dinding luar terdapat relung-relung yang berisi arca Mahakala dan Nandiswara. Pada relung utara terdapat arca Durga Mahesa-Suramardhini. Relung Timur terdapat Arca Ganesha dan disebelah selatan terdapat arca Agastya yakni Syiwa sebagai Mahaguru. Namun diantara semua arca itu hanya arca Durga Mahesasura-mardhini saja yang tersisa.

Candi badut dulunya dikelingi oleh tembok yang sekarang sudah hilang. Sebuah tangga yang diapit oleh pipi tangga dihiasi ukiran kinarakinari (makhluk surge berbadan burung berkepala manusia yang bertugas memaikan musik surgawi). Bidang hias disemping relung-rellung candi dihias dengan pola bunga. Atapnya runtuh. Dihadapan pint masuk terdapat alas candi perwara yang lebih kecil sebanyak tiga buah. Di halaman candi sebelah utara dan selatan terdapat dua batu berbentuk kubus denga sebuah lubang persegi empat.
W.J. Van der Meulen beranggapan bahwa Gajayan bersama puterinya (Uttejana) menyeberang ke aliran Syaiva tetapi putra-putri lain, handai taulannya, isi istana tidak ikut. Mereka terang tidak hadir dalam upacara (hanya raja, brahmana-brahmana syaiva, rakyat). Mereka baru disebut (dan dengan hebat sekali) dalam ancaman-ancaman terhadap yang akan menentang keputusan raja di kedua “seloka” terakhir. Ancaman-Ancaman hanya dan eksklusif diarahkan kepada keluarga raja, hal yang aneh sekali.

Seperti telah diuraikan diatas bahwa prasasti Dinoyo dibuat oleh Anana, cucu Gajanana, pada tahun 760 (ketika Gajayana almarhum). Itu sebabnya yang lebih masuk akal menyerberang ke aliran Syaiva adalah Anana dan ibunya (Uttejana), karena sangat meungkin suami Uttejana penganut aliran Syaiva. Situs Kanjuruhan yang meliput wilayah Karang Dinoyo (Dyanayan), Karang Besuki (Vasuki), Mertojoyo (Amrthajaya) dan Merjosari (AmrthaJayasSjri) menunjuk pada nama-nama bersifat Vaisyanava. Dengan demikian, penempatan Candi Badut di kawasan ini menunjukkan bukti betapa dewasa itu terjadi persaingan dasyat antara aliran Syaiva dengan aliran Vaisyanava
NB : Berbagai Sumber

 Taurus Vocation

Candi Kidal, Tumpang


Candi Kidal adalah salah satu candi warisan dari kerajaan Singasari. Candi ini dibangun sebagai bentuk penghormatan atas jasa besar Anusapati, Raja kedua dari Singhasari, yang memerintah selama 20 tahun (1227 - 1248). Kematian Anusapati dibunuh oleh Panji Tohjaya sebagai bagian dari perebutan kekuasaan Singhasari, juga diyakini sebagai bagian dari kutukan Mpu Gandring.


Candi Kidal secara arsitektur, kental dengan budaya Jawa Timuran, telah mengalami pemugaran pada tahun 1990. Candi kidal juga memuat cerita Garudeya, cerita mitologi Hindu, yang berisi pesan moral pembebasan dari perbudakan.

Anusapati - Sang Garuda Yang Berbakti

Penggalan pupuh dalam kitab Negarakretagama, sebuah kakawin kaya raya informasi tentang kerajaan Majapahit dan Singosari, menceritakan hal yang berkaitan dengan raja Singosari ke-2, Anusapati, beserta tempat pendharmaannya di candi Kidal.

    Bathara Anusapati menjadi raja
    Selama pemerintahannya tanah Jawa kokoh sentosa
    Tahun caka Persian Gunung Sambu (1170 C - 1248 M) beliau berpulang ke Siwabudaloka
    Cahaya beliau diujudkan arca Siwa gemilang di candi Kidal

Lokasi

Terletak di desa Rejokidal, kecamatan Tumpang, sekitar 20 km sebelah timur kota Malang - Jawa Timur, candi Kidal dibangun pada 1248 M, bertepatan dengan berakhirnya rangkaian upacara pemakaman yang disebut Cradha (tahun ke-12) untuk menghormat raja Anusapati yang telah meninggal. Setelah selesai pemugaran kembali pada dekade 1990-an, candi ini sekarang berdiri dengan tegak dan kokoh serta menampakkan keindahannya. Jalan menuju ke Candi Kidal sudah bagus setelah beberapa tahun rusak berat. Di sekitar candi banyak terdapat pohon-pohon besar dan rindang, taman candi juga tertata dengan baik, ditambah lingkungan yang bernuansa pedesaan menambah suasana asri bila berkunjung kesana.


Dari daftar buku pengunjung yang ada nampak bahwa Candi Kidal tidak sepopuler “teman”-nya candi Singosari, Jago, atau Jawi. Ini diduga karena Candi Kidal terletak jauh di pedesaan, tidak banyak diulas oleh pakar sejarah, dan jarang ditulis pada buku-buku panduan pariwisata.
Keistimewaan Candi Kidal
Kepala Batara Kala di atas gerbang masuk Candi Kidal.

Namun demikian candi Kidal sesungguhnya memiliki beberapa kelebihan menarik dibanding dengan candi-candi lainnya tersebut. Candi Kidal terbuat dari batu andesit dan berdimensi geometris vertikal. Kaki candi nampak agak tinggi dengan tangga masuk keatas kecil-kecil seolah-olah bukan tangga masuk sesungguhnya. Badan candi lebih kecil dibandingkan luas kaki serta atap candi sehingga memberi kesan ramping. Pada kaki dan tubuh candi terdapat hiasan medallion serta sabuk melingkar menghiasi badan candi. Atap candi terdiri atas 3 tingkat yang semakin keatas semakin kecil dengan bagian paling atas mempunyai permukaan cukup luas tanpa hiasan atap seperti ratna (ciri khas candi Hindu) atau stupa (ciri khas candi Budha). Masing-masing tingkat disisakan ruang agak luas dan diberi hiasan. Konon tiap pojok tingkatan atap tersebut dulu disungging dengan berlian kecil.

Hal menonjol lainnya adalah kepala kala yang dipahatkan di atas pintu masuk dan bilik-bilik candi. Kala, salah satu aspek Dewa Siwa dan umumnya dikenal sebagai penjaga bangunan suci. Hiasan kepala kala Candi Kidal nampak menyeramkan dengan matanya melotot, mulutnya terbuka dan nampak dua taringnya yang besar dan bengkok memberi kesan dominan. Adanya taring tersebut juga merupakan ciri khas candi corak Jawa Timuran. Di sudut kiri dan kanannya terdapat jari tangan dengan mudra (sikap) mengancam. Maka sempurnalah tugasnya sebagai penjaga bangunan suci candi.
Pemugaran

Di sekeliling candi terdapat sisa-sisa pondasi dari sebuah tembok keliling yang berhasil digali kembali sebagai hasil pemugaran tahun 1990-an. Terdapat tangga masuk menuju kompleks candi disebelah barat melalui tembok tersebut namun sulit dipastikan apakah memang demikian aslinya. Jika dilihat dari perspektif tanah sekeliling dengan dataran kompleks candi, nampak candi kompleks Kidal agak menjorok kedalam sekitar 1 meter dari permukaan sekarang ini. Apakah dataran candi merupakan permukaan tanah sesungguhnya akibat dari bencana alam seperti banjir atau gunung meletus tidak dapat diketahui dengan pasti.

Dirunut dari usianya, Candi Kidal merupakan candi tertua dari peninggalan candi-candi periode Jawa Timur pasca Jawa Tengah (abad ke-5 – 10 M). Hal ini karena periode Mpu Sindok (abad X M), Airlangga (abad XI M) dan Kediri (abad XII M) sebelumnya tidak meninggalkan sebuah candi, kecuali Candi Belahan (Gempol) dan Jolotundo (Trawas) yang sesungguhnya bukan merupakan candi melainkan petirtaan. Sesungguhnya ada candi yang lebih tua yakni Candi Kagenengan yang menurut versi kitab Nagarakretagama tempat di-dharma-kannya, Ken Arok, ayah tiri Anusapati. Namun sayang candi ini sampai sekarang belum pernah ditemukan.
Relief Garuda
Relief I: Garuda melayani para ular
Relief II: Garuda mengambil tirta amerta
Relief III: Garuda menyelamatkan ibunya

Pada bagian kaki candi terpahatkan 3 buah relief indah yang menggambarkan cerita legenda Garudeya (Garuda). Cerita ini sangat popular dikalangan masyarakat Jawa saat itu sebagai cerita moral tentang pembebasan atau ruwatan Kesusastraan Jawa kuno berbentuk kakawin tersebut, mengisahkan tentang perjalanan Garuda dalam membebaskan ibunya dari perbudakan dengan penebusan air suci amerta.

Cerita ini juga ada pada candi Jawa Timur yang lain yakni di candi Sukuh (lereng utara G. Lawu). Cerita Garuda sangat dikenal masyarakat pada waktu berkembang pesat agama Hindu aliran Waisnawa (Wisnu) terutama pada periode kerajaan Kahuripan dan Kediri. Sampai-sampai Airlangga, raja Kahuripan, setelah meninggal diujudkan sebagai dewa Wisnu pada candi Belahan dan Jolotundo, dan patung Wisnu di atas Garuda paling indah sekarang masih tersimpan di museum Trowulan dan diduga berasal dari candi Belahan.


Narasi cerita Garudeya pada candi Kidal dipahatkan dalam 3 relief dan masing-masing terletak pada bagian tengah sisi-sisi kaki candi kecuali pintu masuk. Pembacaannya dengan cara prasawiya (berjalan berlawanan arah jarum jam) dimulai dari sisi sebelah selatan atau sisi sebelah kanan tangga masuk candi. Relief pertama menggambarkan Garuda dibawah 3 ekor ular, relief kedua melukiskan Garuda dengan kendi di atas kepalanya, dan relief ketiga Garuda menggendong seorang wanita. Di antara ketiga relief tersebut, relief kedua adalah yang paling indah dan masih utuh.

Dikisahkan bahwa Kadru dan Winata adalah 2 bersaudara istri resi Kasiapa. Kadru mempunyai anak angkat 3 ekor ular dan Winata memiliki anak angkat Garuda. Kadru yang pemalas merasa bosan dan lelah harus mengurusi 3 anak angkatnya yang nakal-nakal karena sering menghilang di antara semak-semak. Timbullah niat jahat Kadru untuk menyerahkan tugas ini kepada Winata. Diajaklah Winata bertaruh pada ekor kuda putih Uraiswara yang sering melewati rumah mereka dan yang kalah harus menurut segala perintah pemenang. Dengan tipu daya, akhirnya Kadru berhasil menjadi pemenang. Sejak saat itu Winata diperintahkan melayani segala keperluan Kadru serta mengasuh ketiga ular anaknya setiap hari. Winata selanjutnya meminta pertolongan Garuda untuk membantu tugas-tugas tersebut. (relief pertama).

Ketika Garuda tumbuh besar, dia bertanya kepada ibunya mengapa dia dan ibunya harus menjaga 3 saudara angkatnya sedangkan bibinya tidak. Setelah diceritakan tentang pertaruhan kuda Uraiswara, maka Garuda mengerti. Suatu hari ditanyakanlah kepada 3 ekor ular tersebut bagaimana caranya supaya ibunya dapat terbebas dari perbudakan ini. Dijawab oleh ular "bawakanlah aku air suci amerta yang disimpan di kahyangan serta dijaga para dewa, dan berasal dari lautan susu". Garuda menyanggupi dan segera mohon izin ibunya untuk berangkat ke kahyangan. Tentu saja para dewa tidak menyetujui keinginan Garuda sehingga terjadilah perkelahian. Namun berkat kesaktian Garuda para dewa dapat dikalahkan. Melihat kekacauan ini Bathara Wisnu turun tangan dan Garuda akhirnya dapat dikalahkan. Setelah mendengar cerita Garuda tentang tujuannya mendapatkan amerta, maka Wisnu memperbolehkan Garuda meminjam amerta untuk membebaskan ibunya dan dengan syarat Garuda juga harus mau menjadi tungganggannya. Garuda menyetujuinya. Sejak saat itu pula Garuda menjadi tunggangan Bathara Wisnu seperti nampak pada patung-patung Wisnu yang umumnya duduk di atas Garuda. Garuda turun kembali ke bumi dengan amerta. (relief kedua).

Dengan bekal air suci amerta inilah akhirnya Garuda dapat membebaskan ibunya dari perbudakan atas Kadru. Hal ini digambarkan pada relief ketiga dimana Garuda dengan gagah perkasa menggendong ibunya dan bebas dari perbudakan. (relief ketiga)
Ruwatan

Berbeda dengan candi-candi Jawa Tengah, candi Jawa Timuran berfungsi sebagai tempat pen-dharma-an (kuburan) raja, sedangkan candi-candi Jawa Tengah dibangun untuk memuliakan agama yang dianut raja beserta masyarakatnya. Seperti dijelaskan dalam kitab Negarakretagama bahwa raja Wisnuwardhana didharmakan di candi Jago, Kertanegara di candi Jawi dan Singosari, Hayam Wuruk di candi Ngetos, dsb.

Dalam filosofi Jawa asli, candi juga berfungsi sebagai tempat ruwatan raja yang telah meninggal supaya kembali suci dan dapat menitis kembali menjadi dewa. Ide ini berkaitan erat dengan konsep Dewaraja yang berkembang kuat di Jawa saat itu. Dan untuk menguatkan prinsip ruwatan tersebut sering dipahatkan relief-relief cerita moral dan legenda pada kaki candi, seperti pada candi Jago, Surowono, Tigowangi, Jawi, dan lain lain. Berkaitan dengan prinsip tersebut, dan sesuai dengan kitab Negarakretagama, maka candi Kidal merupakan tempat diruwatnya raja Anusapati dan dimuliakan sebagai Siwa. Sebuah patung Siwa yang indah dan sekarang masih tersimpan di museum Leiden - Belanda diduga kuat berasal dari candi Kidal. Sebuah pertanyaan, mengapa dipahatkan relief Garudeya? Apa hubungannya dengan Anusapati?.

Kemungkinan besar sebelum meninggal, Anusapati berpesan kepada keluarganya agar kelak candi yang didirikan untuknya supaya dibuatkan relief Garudeya. Dia sengaja berpesan demikian karena bertujuan meruwat ibunya, Kendedes, yang sangat dicintainya, namun selalu menderita selama hidupnya dan belum sepenuhnya menjadi wanita utama.

Dalam prasati Mula Malurung, dikisahkan bahwa Kendedes adalah putri Mpu Purwa dari pedepokan di daerah Kepanjen – Malang yang cantik jelita tiada tara. Kecantikan Ken Dedes begitu tersohor hingga akuwu Tunggul Ametung, terpaksa menggunakan kekerasan untuk dapat menjadikan dia sebagai istrinya prameswari. Setelah menjadi istri Tunggul Ametung, ternyata Ken Dedes juga menjadi penyebab kematian suaminya yang sekaligus ayah Anusapati karena dibunuh oleh Ken Arok, ayah tirinya.

Hal ini terjadi karena Ken Arok, yang secara tak sengaja ditaman Boboji kerajaan Tumapel melihat mengeluarkan sinar kemilau keluar dari aurat Kendedes. Setelah diberitahu oleh pendeta Lohgawe, bahwa wanita mana saja yang mengeluarkan sinar demikian adalah wanita ardanareswari, yakni wanita yang mampu melahirkan raja-raja besar di Jawa. Sesuai dengan ambisi Ken Arok maka diapun membunuh Tunggul Ametung serta memaksa kawin dengan Kendedes. Sementara itu setelah mengawini Kendedes, Ken Arok masih juga mengawini Ken Umang dan menurut cerita tutur Ken Arok lebih menyayangi istri keduanya dari pada Ken Dedes; Sehingga Ken Dedes diabaikan.

Berlandaskan uraian di atas, maka pemberian relief Garudeya pada candi Kidal oleh Anusapati bertujuan untuk meruwat ibunya Ken Dedes yang cantik jelita namun nestapa hidupnya. Anusapati sangat berbakti dan mencintai ibunya. Dia ingin ibunya menjadi suci kembali sebagai wanita sempurna lepas dari penderitaan dan nestapa.

NB : Berbagai Sumber 

Taurus Vocation

Sumber Taman Gondang Legi , pagelaran



jangan coba-coba berenang bebas kalau masih belum ahli
berenang. Pakai pelampung saja lebih safety dan kecipak-
kecipak lucu sekali, ha...ha...ha...
Kondisi Sumber Taman di pagi hari menjelang pukul 11.00 wib
tenang, tak beriak dan misterius

Pondok bambu, tempat peristirahatan pengunjung sumber Taman


Biar gak tumpah ke kri dan kanan kolam, sudah di persiapkan
lubang luapan air satu lobang, bening sejuk dan segar...........

Luapan air sumber Taman mengalir membasahai persawahan
yang ada di sekitarnya


Beningnya air menyejukkan siapa saja yang melihatnya, terdorong setiap badan untuk segera menceburkan diri sekedar untuk berendam sebentar atau bahkan lebih lama. Segar, sejuk ditemani dengan rindangnya dua pohon besar yang mensuplai sumber air dalam jumlah yang besar. Mengalir dengan deras ke tempat yang lebih rendah tatkala wilayah luberan air jernih tak mampu menampung banyaknya massa yang menggenanginya. Tidak terbuang mubadzir air sumber tersebut, karena di bawah tempat yang lebih rendah disambut dengan persawahan yang telah terkelola dengan suburnya. Sepertinya persawahan tersebut di pakai oleh proyek penelitian mahasiswa-mahasiswa pertanian dari sebuah Universitas. Karena tiap-tiap petak sawah nampak nama-nama jenis padi yang telah ditanam. Bisa-bisa persawahannya termasuk dalam kategori pesawahan organic,karena sumber airnya murni tanpa campuran atau cemaran bahan-bahan kimia yang lainnya. Ya, itu semua dari sumber mata air Sumber Taman yang terletak di Desa Brongkal Gondanglegi, Kecamatan Pagelaran, Kabupaten Malang
Alami sekali tempatnya, banyak pepohonan raksasa bisa kita lihat di seputaran kolam sumber. Itulah yang menyebabkan meluapnya air jernih yang selalu akan di butuhkan oleh semua makhluk hidup di bumi. Sumber air itu memiliki kedalaman sekitar 1 meter hingga 1,5 meter dengan luas sekitar 30 M2.st12/stf3, dan kita bisa melihat dasarnya dengan sangat jelas sekali
Kekaguman muncul pada suatu yang belum pernah nampak pada mata. Air yang jernih merupakan ciptaan dari Tuhan yang patut kita syukuri dengan tidak mencemarinya, malah menjaganya. Semoga dengan seringnya kita plesiran ke alam yang masih murni bisa menambah ketakwaan kita kepada Tuhan bahwa Tuhan maha Besar menciptakan sebuah alam yang indah yang tiada manusia mampu menandinginya.
Tempatnya gratis, masuk ke godanglegi pedesaan, Tanya sana, Tanya sini, pasti deh banyak orang yang tahu dimana letaknya.

NB : Berbagai Sumber

Taurus Vocation

"Kasunyatan Jawi" Tugu Tulak Bebaya Asteroit th. 2029 Sineksenan Gedangan

Penghayat kepercayaan dengan nama organisasi Kasunyatan Jawi ini berusaha untuk melestarikan adat istiadat jawa yang dirasa sudah hilang lama. Sangat menyayangkan kenapa kebudayaan kita tidak bisa menjadi tuan rumah di Negara Kita sendiri. Menjadikan ajaran lain menguasai dan berusaha merusak adat kebudayaan kita. Tamu menata yang punya rumah, yang berarti sama dengan menjajah. Kebudayaan dan adat kita ini sudah terjajah. Ini yang menjadi pemikiran semua saudara kita pelaku adat. Tulis Ki Ageng Sri Widadi, Panuntun Agung Kasunyatan Jawi dalam serat "Kasunyatan Jawi"


image 1. Prasasti yang dibuat, dengan tulisan jawa Hanacaraka
yang maksudnya adalah bahwa nanti di tahun 2029
batu asteroit dari luar angkasa akan menabrak bumi dan
dan mengakibatkan kiamat. Akhirnya di buat tugu tulak
penangkalnya agar asteroit tidak sampai menabrak bumi
sehingga bumi bisa terhindar dari kiamat


image 2.Tugu tulak terbuat dari bebatuan yang membentuk
tekstur yang amat kasar sekali kemudian di cat warna
putih dan backgroun kuning agar kesan teksturnya lebih berasa


image 3. Dua bangunan arsitektur dari kayu.
Bangunan yang berwarna-warni, terdiri dari 5 warna
adalah simbol dari pembentuk alam semesta ini,
merupakan tempat tinggalnya Eyang Sapu Jagad yang
dulunya melakukan mukso (hilang bersama-sama dengan raganya)
Akhirnya di buatkan tempat tinggal dengan 5 warna tersebut.
Warna
merah melambangkan Matahari,hijau- air, kuning-Api, putih-angin,
dan hitam melambangkan tanah
.
Dan bangunan warna coklat adalah tempat para
pengikut bersemedi agar dapat bertemu
dengan Eyang Sapu Jagad

image 4.

image 5.


image 6.

image 7.
image 8. Bangunan warna coklat adalah tempat para
pengikut bersemedi agar dapat bertemu
dengan Eyang Sapu Jagad. Orangnya gagah,
berumur sekitar 50 tahunan dan masih tegap,
dengan kumis yang lebat. Bertampang sangar,
orang yang baru bertemu di jamin akan
ketakutan karena wajah sangarnya tersebut



image 9.

image 10.




image 11.

image 12.


 NB : Berbagai Sumber

 Taurus Vocation

Makam Mbah Suroyudo, Tajinan


Makam Mbah Suroyudo atau dikenal juga dengan Mbah Qosim atau Mbah Jalaluddin ini terletak di Jalan Suroyudo Dusun Mertoyoso Desa Ngawonggo Kecamatan Tajinan Kabupaten Malang Propinsi Jawa Timur. Lokasi makam yang dapat ditempuh dengan kendaraan pribadi (baik roda dua maupun empat), sekitar 10 menit arah tenggara dari kantor Kecamatan Tajinan ini merupakan makam Auliya’ sekaligus merupakan orang yang mengawali membangun desa Ngawonggo atau istilahnya babad alas desa ini. Keadaan jalan menuju makam Mbah Suroyudo cukup baik, karena telah beraspal dan juga merupakan jalan alternatif dari daerah kecamatan Wajak menuju Kota Malang. Akan tetapi belum ada angkutan umum yang melalui daerah itu, selain angkutan ojek. Untuk mencapai lokasi makam dengan menggunakan angkutan umum dapat ditempuh dengan angkutan pedesaan dari terminal Hamid Rusdi kota Malang yang melalui pasar Tajinan, kemudian naik ojek dari pasar Tajinan menuju makam dengan kisaran ongkos ojek Rp.5.000 – 7.500.

Mbah Suroyudo berasal dari Ponorogo Jawa Timur, yang memiliki nama kecil Qosim. Terlahir dari Ibu beliau yang bernama Suti dan Ayah yang bernama Cipto. Mbah Suroyudo pertama kali “Nyecep Ilmu” (Belajar) dan juga diislamkan oleh guru yang pertama yaitu “Eyang Betoro Katong” beliau merupakan Ratunya Waro’ Ponorogo yang diislamkan oleh Sunan Ampel. Kemudian Eyang Betoro Katong memerintahkan Mbah Suroyudo untuk nyecep ilmu kepada Sunan Kalijaga. Selama tiga tahun Mbah Suroyudo belajar dari Sunan Kalijaga, di sana beliau diislamkan lagi oleh Sunan Kalijaga dan diberi nama “Jalaluddin” pada tahun 1467 M (872 H). Pada tahun 1470 M (875 H) Sunan Kalijaga memerintahkan Mbah Suroyudo untuk nyecep ilmu kepada Sunan Mbayat. Kemudian tepatnya tahun 1476 M (881 H) Sunan Mbayat menugaskan Mbah Suroyudo untuk menyebarkan Agama Islam di Pulau Jawa dengan ditemani seekor macan putih. Sunan Mbyat mengatakan kepada Mbah Suroyudo : “ Gogor gering-geringen iki ramuten, yen kerso waras ajaken nyebarno agomo, yen katon lintang kemukus dek no padepokan ing kono”. Dengan takdir Alloh SWT, Mbah Suroyudo melihat Bintang Kemukus ketika berada di daerah Ngawonggo, dan beliaupun mendirikan “Padepokan” atau Pesantren yang terletak di area makam ini.

Di Padepokan inilah Mbah Suroyudo mengajarkan ilmu kanuragan dan juga ilmu agama. Pada tahun 1487 M (892) Mbah Suroyudo memimpin pasukan perang dengan membawa 400 orang relawan dari desa Ngawonggo dan sekitarnya dengan berjalan kaki menuju ke Demak untuk melawan Portugis yang menyusup kedalam kerajaan Mataram, yang berusaha menjatuhkan kerajaan Demak kekuasaan Wali Songo, oleh karena itu beliau mendapatkan gelar “Suroyudo” yang artinya; Suro “Berani” dan Yudo “Perang”. Mbah Suroyudo wafat pada hari senin tanggal 14 bulan Maulud tahun 1503 M (908 H) dalam usia 211 tahun.

NB : Berbagai Sumber 

Taurus Vocation

Sumber Maron, Gondang Legi


Namanya tempatnya adalah Sumber Maron, terletak 5 Km dari kota Gondanglegi kabupaten Malang, masih tetanggaan sama Sumber Taman.

Jalan yang kami lalui berkelok-kelok seperti ular, melewati perkuburan desa dengan seramnya tanaman kamboja yang meneduhinya. Ketika hampir mendekati tujuan, belok ke kanan, turun ke bawah menuju rerimbunan tanaman bambu alias barongan. Lumayan terjal sih, kayak lagi road cross, tapi menyenangkan Setelah melalui tanjakan yang melelahkan......Betapa terkejutnya kami semua setelah sampai ketempat tujuan. Inilah pemandangan yang tidak bisa diucapkan dengan kata-kata..........tapi untuk tempat parkirnya belum ada yang mengelola. Kami parkir di samping sungai di sebelah kami berhenti, tapi masih bisa di lihat nanti kalau kami sudah turun ke sumber. Jadi kami adalah turis plus tukang parkir, membuat agak was-was juga.

Persawahan dengan sistem terasiring, dengan haru biru berkabut awan putih yang indah berkilau, baru kali ini aku dapat melihatnya setelah pemandangan terasiring yang terkenal di Ubud Bali. Ternyata Gondanglegi juga ada, tidak kalah dengan Bali.
Langsung saja turun dengan memarkir sepeda di tepian sungai yang letaknya masih terlihat dari bawah. Berjalan di undak-undakan menurun menuju ke tempat sumber berasal. Sesampainya di bawah, kepala godak-godek serasa tidak percaya.
Semakin ke bawah aku ikuti aliran sungainya, semakin deras guyuranya. Masih ada kolam di bawahnya. Gak terlalu besar sih, tapi bisa membuat kita ketagihan untuk terus datang ke situ.
Itulah sekilas tentang Sumber Maron yang tidak bisa aku ucapkan dengan kata-kata yang serba indah nan puitis. Cuma sayang wisata alam tersebut belum ada yang serius mengelolanya. Nampak tidak ada tukang parkir dan tiket masuk yang di kenakannya.
Cobalah kau datang sendiri membuktikannya, dijamin kau akan keracunan dengan sejuknya alam sekitarnya.

NB : Berbagai Sumber 

Taurus Vocation