Pages

Tampilkan postingan dengan label Candi. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Candi. Tampilkan semua postingan

Senin, 26 November 2012

Candi Sumberawan, Singosari


Setelah berwisata sejarah ke Candi Singosari, Ngalamers dapat melanjutkan perjalanan ke Candi Sumberawan yang berjarak sekitar 1 km. Tepatnya di Desa Toyomarto, Kecamatan Singosari, Kabupaten Malang. Tapi jangan pernah membayangkan akan menemui sebuah bangunan candi layaknya saat Ngalamers berkunjung ke Candi Singosari, karena Candi Sumberawan hanya berbentuk stupa.

Candi ini merupakan peninggalan Kerajaan Singhasari yang dibangun sekitar akhir abad ke 14 atau awal abad ke 15. Candi yang pertama kali ditemukan pada tahun 1904 ini pernah dipugar dibagian kaki pada tahun 1937. Candi Sumberawan berbentuk bujur sangkar dan hanya terdiri atas kaki dan badan yang berbentuk stupa. Pada batur candi terdapat selasar atau beranda, kakinya memiliki penampil pada keempat sisinya. Karena termasuk candi Budha, Candi Sumberawan menjadi sangat ramai saat Waisak karena banyak penganut Budha yang datang untuk merayakan kehidupan Sang Budha.



Selain penganut Budha yang datang untuk beribadat, candi ini juga banyak didatangi oleh para wisatawan. Selain untuk melihat Candi Sumberawan, para wisatawan itu juga ingin menikmati pemandangan sekitar candi yang terkenal sejuk karena terletak di kaki Gunung Arjuno. Sebagai tambahan, candi ini juga memiliki sebuah telaga yang airnya jernih dan dingin. Masyarakat sekitar percaya bahwa telaga ini memiliki pengaruh besar untuk kesehatan. Jadi, jangan heran jika banyak pengunjung yang mandi di telaga ini.

Candi Sumberawan ditemukan pada tahun 1904, terbuat dari batu andesit dengan ukuran  panjang 6,25m, lebar 6,25 m, dan tinggi 5,23 m berbentuk segi delapan dengan susunan batu berbentuk genta (stupa) yang puncaknya telah hilang.  Candi ini berupa stupa sehingga tidak bisa dinaiki. dan tidak memiliki relief.

Di depan taman samping  candi ada prasasti batu berbentuk persegi empat setinggi 4 cm. Tulisan berbahasa belanda pada prasasti itu kini sudah hampir terkikis, isinya berisi kalau candi ini direstorasi oelh pemerinta Hindia Belanda tahun 1937.

Candi Sumberawan dipercaya merupakan alat transformasi untuk mengubah mata air yang ada di bawahnya menjadi air kehidupan atau air suci, yang dalam sansekerta disebut amerta. Amerta merupakan air para dewa yang dipercaya sebagai air keabadian. Sehingga candi ini dikait-kaitkan dengan kekuatan magis. Secara rutin setiap memasuki bulan Suro (sekitar bulan Agustus) masyarakat  desa sekitar melakukan acara Selamatan Sumber. Tumpeng pun dipersembahkan sebagai ungkapan rasa syukur atas mengalirnya mata air sumberawan yang telah menghidupi ribuan jiwa. sebagian orang juga datang kesini untuk memanjatkan doa, memohon keselamatan di salah satu ruang ujung kawasan candi terdapat ruang khusus untuk semedi.

NB : Berbagai Sumber Taurus Vocation

Candi Badut, Karang Besuki Sukun


Satu lagi wisata sejarah yang berada di kota Malang, yaitu Candi Badut. Tapi tunggu, candi ini tidak berbentuk badut seperti namanya. Nama Badut sendiri berasal dari bahasa Sansekerta "Bha-Dyut" yang berarti sorot Bintang Canopus atau sorot Agastya.


Candi Badut berlokasi sekitar 10 km dari pusat kota Malang, tepatnya di Desa Karangbesuki, Kecamatan Dau, Kabupaten Malang. Meskipun cukup terkenal, tapi candi ini jarang sekali dikunjungi oleh para wisatawan. Mungkin karena lokasinya yang agak terpencil yang mengharuskan Ngalamers melewati pemukiman penduduk untuk sampai ke lokasi.

Candi yang berusia sekitar 1400 tahun ini diyakini sebagai peninggalan prabu Gajayana yang merupakan penguasa Kanjuruhan pada waktu itu. Candi Badut pertama kali ditemukan oleh Maureen Brecher, seorang warga Belanda, pada tahun 1921. Saat pertama kali ditemukan, candi ini masih berupa gundukan bukit batu, reruntuhan, serta tanah. Setelah dilakukan pemugaran diketahui bahwa bangunan candi ini sebenarnya telah runtuh, dan yang tersisa hanyalah bagian kaki. Sama seperti bagian tubuh candi yang telah hancur, beberapa arca yang ditemukan juga banyak yang tidak utuh lagi; seperti arca Ganesha, arca Agastya, serta arca Mahakal dan Nadiswara. Hanya arca Durga Mahesasuramardhini saja yang tersisa. Tapi semua itu tidak mengurangi keindahan dan nilai sejarah dari Candi Badut itu sendiri.

Situs candi badut terletak di Dukuh Gasek, Kelurahan Karang Besuki, Kecamatan Sukun Kodya Malang. Candi ini ditemukan tahun 1921 di mana bentuknya saat itu hanya berupa gundukan bukit batu, reruntuhan dan tanah. Orang pertama yang memberitakan keberadaan Candi Badut adalah Maureen Brecher, seorang kontrolir bangsa Belanda yang bekerja di Malang. Candi Badut dibangun kembali tahun 1925-1927 di bawah pengawasan B. De Haan dari Jawatan Purbakala Hindia Belanda. Candi Badut dipugar lebih baik lagi tahun 1992-1993 oleh Suaka Purbakala Jawa Timur.

Dilihat bentuknya, Candi Badut mirip dengan candi-candi dijawa tengah periode abad ke-8 hingga ke-10 terutama dikawasan dataran tinggi Dieng seperti Candi Gedong Songo. Bahan Candi terbuat dari batu. Kaki candi pols tidak berhias. Pintu masuk diberi penampil. Kalamakara yang menghias bagian atas pintu tidak memakai rahang bawah.

Nama Badut berasal dari bahasa Sansekerta “Bha-dyut” yang berarti Sorot Bintang Canopus atau Sorot Agastya. Dilihat dari nama candi, maka Candi Badut adalah candi bersifat Syiwaistik dimana Dewa Syiwa dipuja sebagai Agastya atay Bhatara Guru. Hal itu terlihat pada ruangan induk candi yang berisi sebuah pasangan arca tidak nyata dari Syiwa dan Parwati dalam bentuk lingga dan yoni. Pada bagian dinding luar terdapat relung-relung yang berisi arca Mahakala dan Nandiswara. Pada relung utara terdapat arca Durga Mahesa-Suramardhini. Relung Timur terdapat Arca Ganesha dan disebelah selatan terdapat arca Agastya yakni Syiwa sebagai Mahaguru. Namun diantara semua arca itu hanya arca Durga Mahesasura-mardhini saja yang tersisa.

Candi badut dulunya dikelingi oleh tembok yang sekarang sudah hilang. Sebuah tangga yang diapit oleh pipi tangga dihiasi ukiran kinarakinari (makhluk surge berbadan burung berkepala manusia yang bertugas memaikan musik surgawi). Bidang hias disemping relung-rellung candi dihias dengan pola bunga. Atapnya runtuh. Dihadapan pint masuk terdapat alas candi perwara yang lebih kecil sebanyak tiga buah. Di halaman candi sebelah utara dan selatan terdapat dua batu berbentuk kubus denga sebuah lubang persegi empat.
W.J. Van der Meulen beranggapan bahwa Gajayan bersama puterinya (Uttejana) menyeberang ke aliran Syaiva tetapi putra-putri lain, handai taulannya, isi istana tidak ikut. Mereka terang tidak hadir dalam upacara (hanya raja, brahmana-brahmana syaiva, rakyat). Mereka baru disebut (dan dengan hebat sekali) dalam ancaman-ancaman terhadap yang akan menentang keputusan raja di kedua “seloka” terakhir. Ancaman-Ancaman hanya dan eksklusif diarahkan kepada keluarga raja, hal yang aneh sekali.

Seperti telah diuraikan diatas bahwa prasasti Dinoyo dibuat oleh Anana, cucu Gajanana, pada tahun 760 (ketika Gajayana almarhum). Itu sebabnya yang lebih masuk akal menyerberang ke aliran Syaiva adalah Anana dan ibunya (Uttejana), karena sangat meungkin suami Uttejana penganut aliran Syaiva. Situs Kanjuruhan yang meliput wilayah Karang Dinoyo (Dyanayan), Karang Besuki (Vasuki), Mertojoyo (Amrthajaya) dan Merjosari (AmrthaJayasSjri) menunjuk pada nama-nama bersifat Vaisyanava. Dengan demikian, penempatan Candi Badut di kawasan ini menunjukkan bukti betapa dewasa itu terjadi persaingan dasyat antara aliran Syaiva dengan aliran Vaisyanava
NB : Berbagai Sumber

 Taurus Vocation

Candi Kidal, Tumpang


Candi Kidal adalah salah satu candi warisan dari kerajaan Singasari. Candi ini dibangun sebagai bentuk penghormatan atas jasa besar Anusapati, Raja kedua dari Singhasari, yang memerintah selama 20 tahun (1227 - 1248). Kematian Anusapati dibunuh oleh Panji Tohjaya sebagai bagian dari perebutan kekuasaan Singhasari, juga diyakini sebagai bagian dari kutukan Mpu Gandring.


Candi Kidal secara arsitektur, kental dengan budaya Jawa Timuran, telah mengalami pemugaran pada tahun 1990. Candi kidal juga memuat cerita Garudeya, cerita mitologi Hindu, yang berisi pesan moral pembebasan dari perbudakan.

Anusapati - Sang Garuda Yang Berbakti

Penggalan pupuh dalam kitab Negarakretagama, sebuah kakawin kaya raya informasi tentang kerajaan Majapahit dan Singosari, menceritakan hal yang berkaitan dengan raja Singosari ke-2, Anusapati, beserta tempat pendharmaannya di candi Kidal.

    Bathara Anusapati menjadi raja
    Selama pemerintahannya tanah Jawa kokoh sentosa
    Tahun caka Persian Gunung Sambu (1170 C - 1248 M) beliau berpulang ke Siwabudaloka
    Cahaya beliau diujudkan arca Siwa gemilang di candi Kidal

Lokasi

Terletak di desa Rejokidal, kecamatan Tumpang, sekitar 20 km sebelah timur kota Malang - Jawa Timur, candi Kidal dibangun pada 1248 M, bertepatan dengan berakhirnya rangkaian upacara pemakaman yang disebut Cradha (tahun ke-12) untuk menghormat raja Anusapati yang telah meninggal. Setelah selesai pemugaran kembali pada dekade 1990-an, candi ini sekarang berdiri dengan tegak dan kokoh serta menampakkan keindahannya. Jalan menuju ke Candi Kidal sudah bagus setelah beberapa tahun rusak berat. Di sekitar candi banyak terdapat pohon-pohon besar dan rindang, taman candi juga tertata dengan baik, ditambah lingkungan yang bernuansa pedesaan menambah suasana asri bila berkunjung kesana.


Dari daftar buku pengunjung yang ada nampak bahwa Candi Kidal tidak sepopuler “teman”-nya candi Singosari, Jago, atau Jawi. Ini diduga karena Candi Kidal terletak jauh di pedesaan, tidak banyak diulas oleh pakar sejarah, dan jarang ditulis pada buku-buku panduan pariwisata.
Keistimewaan Candi Kidal
Kepala Batara Kala di atas gerbang masuk Candi Kidal.

Namun demikian candi Kidal sesungguhnya memiliki beberapa kelebihan menarik dibanding dengan candi-candi lainnya tersebut. Candi Kidal terbuat dari batu andesit dan berdimensi geometris vertikal. Kaki candi nampak agak tinggi dengan tangga masuk keatas kecil-kecil seolah-olah bukan tangga masuk sesungguhnya. Badan candi lebih kecil dibandingkan luas kaki serta atap candi sehingga memberi kesan ramping. Pada kaki dan tubuh candi terdapat hiasan medallion serta sabuk melingkar menghiasi badan candi. Atap candi terdiri atas 3 tingkat yang semakin keatas semakin kecil dengan bagian paling atas mempunyai permukaan cukup luas tanpa hiasan atap seperti ratna (ciri khas candi Hindu) atau stupa (ciri khas candi Budha). Masing-masing tingkat disisakan ruang agak luas dan diberi hiasan. Konon tiap pojok tingkatan atap tersebut dulu disungging dengan berlian kecil.

Hal menonjol lainnya adalah kepala kala yang dipahatkan di atas pintu masuk dan bilik-bilik candi. Kala, salah satu aspek Dewa Siwa dan umumnya dikenal sebagai penjaga bangunan suci. Hiasan kepala kala Candi Kidal nampak menyeramkan dengan matanya melotot, mulutnya terbuka dan nampak dua taringnya yang besar dan bengkok memberi kesan dominan. Adanya taring tersebut juga merupakan ciri khas candi corak Jawa Timuran. Di sudut kiri dan kanannya terdapat jari tangan dengan mudra (sikap) mengancam. Maka sempurnalah tugasnya sebagai penjaga bangunan suci candi.
Pemugaran

Di sekeliling candi terdapat sisa-sisa pondasi dari sebuah tembok keliling yang berhasil digali kembali sebagai hasil pemugaran tahun 1990-an. Terdapat tangga masuk menuju kompleks candi disebelah barat melalui tembok tersebut namun sulit dipastikan apakah memang demikian aslinya. Jika dilihat dari perspektif tanah sekeliling dengan dataran kompleks candi, nampak candi kompleks Kidal agak menjorok kedalam sekitar 1 meter dari permukaan sekarang ini. Apakah dataran candi merupakan permukaan tanah sesungguhnya akibat dari bencana alam seperti banjir atau gunung meletus tidak dapat diketahui dengan pasti.

Dirunut dari usianya, Candi Kidal merupakan candi tertua dari peninggalan candi-candi periode Jawa Timur pasca Jawa Tengah (abad ke-5 – 10 M). Hal ini karena periode Mpu Sindok (abad X M), Airlangga (abad XI M) dan Kediri (abad XII M) sebelumnya tidak meninggalkan sebuah candi, kecuali Candi Belahan (Gempol) dan Jolotundo (Trawas) yang sesungguhnya bukan merupakan candi melainkan petirtaan. Sesungguhnya ada candi yang lebih tua yakni Candi Kagenengan yang menurut versi kitab Nagarakretagama tempat di-dharma-kannya, Ken Arok, ayah tiri Anusapati. Namun sayang candi ini sampai sekarang belum pernah ditemukan.
Relief Garuda
Relief I: Garuda melayani para ular
Relief II: Garuda mengambil tirta amerta
Relief III: Garuda menyelamatkan ibunya

Pada bagian kaki candi terpahatkan 3 buah relief indah yang menggambarkan cerita legenda Garudeya (Garuda). Cerita ini sangat popular dikalangan masyarakat Jawa saat itu sebagai cerita moral tentang pembebasan atau ruwatan Kesusastraan Jawa kuno berbentuk kakawin tersebut, mengisahkan tentang perjalanan Garuda dalam membebaskan ibunya dari perbudakan dengan penebusan air suci amerta.

Cerita ini juga ada pada candi Jawa Timur yang lain yakni di candi Sukuh (lereng utara G. Lawu). Cerita Garuda sangat dikenal masyarakat pada waktu berkembang pesat agama Hindu aliran Waisnawa (Wisnu) terutama pada periode kerajaan Kahuripan dan Kediri. Sampai-sampai Airlangga, raja Kahuripan, setelah meninggal diujudkan sebagai dewa Wisnu pada candi Belahan dan Jolotundo, dan patung Wisnu di atas Garuda paling indah sekarang masih tersimpan di museum Trowulan dan diduga berasal dari candi Belahan.


Narasi cerita Garudeya pada candi Kidal dipahatkan dalam 3 relief dan masing-masing terletak pada bagian tengah sisi-sisi kaki candi kecuali pintu masuk. Pembacaannya dengan cara prasawiya (berjalan berlawanan arah jarum jam) dimulai dari sisi sebelah selatan atau sisi sebelah kanan tangga masuk candi. Relief pertama menggambarkan Garuda dibawah 3 ekor ular, relief kedua melukiskan Garuda dengan kendi di atas kepalanya, dan relief ketiga Garuda menggendong seorang wanita. Di antara ketiga relief tersebut, relief kedua adalah yang paling indah dan masih utuh.

Dikisahkan bahwa Kadru dan Winata adalah 2 bersaudara istri resi Kasiapa. Kadru mempunyai anak angkat 3 ekor ular dan Winata memiliki anak angkat Garuda. Kadru yang pemalas merasa bosan dan lelah harus mengurusi 3 anak angkatnya yang nakal-nakal karena sering menghilang di antara semak-semak. Timbullah niat jahat Kadru untuk menyerahkan tugas ini kepada Winata. Diajaklah Winata bertaruh pada ekor kuda putih Uraiswara yang sering melewati rumah mereka dan yang kalah harus menurut segala perintah pemenang. Dengan tipu daya, akhirnya Kadru berhasil menjadi pemenang. Sejak saat itu Winata diperintahkan melayani segala keperluan Kadru serta mengasuh ketiga ular anaknya setiap hari. Winata selanjutnya meminta pertolongan Garuda untuk membantu tugas-tugas tersebut. (relief pertama).

Ketika Garuda tumbuh besar, dia bertanya kepada ibunya mengapa dia dan ibunya harus menjaga 3 saudara angkatnya sedangkan bibinya tidak. Setelah diceritakan tentang pertaruhan kuda Uraiswara, maka Garuda mengerti. Suatu hari ditanyakanlah kepada 3 ekor ular tersebut bagaimana caranya supaya ibunya dapat terbebas dari perbudakan ini. Dijawab oleh ular "bawakanlah aku air suci amerta yang disimpan di kahyangan serta dijaga para dewa, dan berasal dari lautan susu". Garuda menyanggupi dan segera mohon izin ibunya untuk berangkat ke kahyangan. Tentu saja para dewa tidak menyetujui keinginan Garuda sehingga terjadilah perkelahian. Namun berkat kesaktian Garuda para dewa dapat dikalahkan. Melihat kekacauan ini Bathara Wisnu turun tangan dan Garuda akhirnya dapat dikalahkan. Setelah mendengar cerita Garuda tentang tujuannya mendapatkan amerta, maka Wisnu memperbolehkan Garuda meminjam amerta untuk membebaskan ibunya dan dengan syarat Garuda juga harus mau menjadi tungganggannya. Garuda menyetujuinya. Sejak saat itu pula Garuda menjadi tunggangan Bathara Wisnu seperti nampak pada patung-patung Wisnu yang umumnya duduk di atas Garuda. Garuda turun kembali ke bumi dengan amerta. (relief kedua).

Dengan bekal air suci amerta inilah akhirnya Garuda dapat membebaskan ibunya dari perbudakan atas Kadru. Hal ini digambarkan pada relief ketiga dimana Garuda dengan gagah perkasa menggendong ibunya dan bebas dari perbudakan. (relief ketiga)
Ruwatan

Berbeda dengan candi-candi Jawa Tengah, candi Jawa Timuran berfungsi sebagai tempat pen-dharma-an (kuburan) raja, sedangkan candi-candi Jawa Tengah dibangun untuk memuliakan agama yang dianut raja beserta masyarakatnya. Seperti dijelaskan dalam kitab Negarakretagama bahwa raja Wisnuwardhana didharmakan di candi Jago, Kertanegara di candi Jawi dan Singosari, Hayam Wuruk di candi Ngetos, dsb.

Dalam filosofi Jawa asli, candi juga berfungsi sebagai tempat ruwatan raja yang telah meninggal supaya kembali suci dan dapat menitis kembali menjadi dewa. Ide ini berkaitan erat dengan konsep Dewaraja yang berkembang kuat di Jawa saat itu. Dan untuk menguatkan prinsip ruwatan tersebut sering dipahatkan relief-relief cerita moral dan legenda pada kaki candi, seperti pada candi Jago, Surowono, Tigowangi, Jawi, dan lain lain. Berkaitan dengan prinsip tersebut, dan sesuai dengan kitab Negarakretagama, maka candi Kidal merupakan tempat diruwatnya raja Anusapati dan dimuliakan sebagai Siwa. Sebuah patung Siwa yang indah dan sekarang masih tersimpan di museum Leiden - Belanda diduga kuat berasal dari candi Kidal. Sebuah pertanyaan, mengapa dipahatkan relief Garudeya? Apa hubungannya dengan Anusapati?.

Kemungkinan besar sebelum meninggal, Anusapati berpesan kepada keluarganya agar kelak candi yang didirikan untuknya supaya dibuatkan relief Garudeya. Dia sengaja berpesan demikian karena bertujuan meruwat ibunya, Kendedes, yang sangat dicintainya, namun selalu menderita selama hidupnya dan belum sepenuhnya menjadi wanita utama.

Dalam prasati Mula Malurung, dikisahkan bahwa Kendedes adalah putri Mpu Purwa dari pedepokan di daerah Kepanjen – Malang yang cantik jelita tiada tara. Kecantikan Ken Dedes begitu tersohor hingga akuwu Tunggul Ametung, terpaksa menggunakan kekerasan untuk dapat menjadikan dia sebagai istrinya prameswari. Setelah menjadi istri Tunggul Ametung, ternyata Ken Dedes juga menjadi penyebab kematian suaminya yang sekaligus ayah Anusapati karena dibunuh oleh Ken Arok, ayah tirinya.

Hal ini terjadi karena Ken Arok, yang secara tak sengaja ditaman Boboji kerajaan Tumapel melihat mengeluarkan sinar kemilau keluar dari aurat Kendedes. Setelah diberitahu oleh pendeta Lohgawe, bahwa wanita mana saja yang mengeluarkan sinar demikian adalah wanita ardanareswari, yakni wanita yang mampu melahirkan raja-raja besar di Jawa. Sesuai dengan ambisi Ken Arok maka diapun membunuh Tunggul Ametung serta memaksa kawin dengan Kendedes. Sementara itu setelah mengawini Kendedes, Ken Arok masih juga mengawini Ken Umang dan menurut cerita tutur Ken Arok lebih menyayangi istri keduanya dari pada Ken Dedes; Sehingga Ken Dedes diabaikan.

Berlandaskan uraian di atas, maka pemberian relief Garudeya pada candi Kidal oleh Anusapati bertujuan untuk meruwat ibunya Ken Dedes yang cantik jelita namun nestapa hidupnya. Anusapati sangat berbakti dan mencintai ibunya. Dia ingin ibunya menjadi suci kembali sebagai wanita sempurna lepas dari penderitaan dan nestapa.

NB : Berbagai Sumber 

Taurus Vocation

Minggu, 25 November 2012

Candi Jago, Tumpang


Situs Candi Jago terletak di Desa Jago, Kecamatan Tumpang, Kabupaten Malang. Candi ini dahulunya bernama Jayaghu. Candi ini menurut Negarakertagama diketahui sebagai salah satu candi pendharmaan bagi Maharaja Wisnuwardhana. Hayam Wuruk disebutkan pernah melakukan kunjungan ziarah ke makam leluhurnya yakni Wisynuwardhana yang dicandikan di Jayaghu atau Jago.

Sekalipun Candi jago diketahui sebagai makam Maharaja Wisynuwardhana, namun jika dilihat dari bentuk arsitektur dan ragam hiasnya maka bangunan itu berasal dari zaman majapahit akhir. Pada tahun 1272 Saka atau 1350 Masehi, misalnya, candi itu pernah diperbaiki oleh Adityawarman. Dan sesudah itu, candi itu tampaknya mengalami beberapa kali pemugaran pada kurun akhir majapahit yakni pada pertengahan abad ke 15.
      
Dilihat dari bentuk arsitekturnya, Candi Jago mirip sekali dengan bentuk punden berundak yang merupakan ciri bangunan religi dari zaman megalithikum yang mengalami kebangkitan kembali pada massa akhir majapahit. Badan candi terletak diatas kaki candi yang bertingkat tiga. Bangunan utama candi terletak agak kebelakang dan menduduki teras tinggi. Diduga pada bangunan utama itu diberi atap dari ijuk sebagaimana pura-pura di Bali. Bahkan dari sudut pandang aetiologi nama Desa Tumpang tempat dimana Candi Jago berada tentu berasal dari bentuk candi tersebut, sebab didalam bahasa Jawa kuno kata Tumpang memeliki arti “lapis, deretan bertingkat, bersusun, membangun dalam deretan bertingkat”.

Arca Amoghapasa dewa tertinggi dalam agama Buddha Tantra yang memiliki tangan delapan adalah perwujudan dari Wisynuwarddhana sebagaimana disebut dalam Negarakertagama. Aca tersebut saat ini masih tersisa dihalaman candi tetapi kepalanya telah hilang.  Disamping Archa Amoghapasa terdapat arca Bhaiwara yang putus kepalanya dan beberapa arca kecil serta sisa-sisa bangunan candi yang berserak disekitar area candi. Sedang arca-arca lain yang pernah diperoleh dari area candi ini disimpan di Museum Jakarta.
   
Sementara ditinjau dari ragam hias terutama relief-relief yang menghiasi tubuh candi  yang mengisahkan lakon Krishnayana, Parthayajna dan Kunjakarna, makin menyakinkan bahwa bangunan candi tersebut berasal dari masa akhir Majapahit meski bahan-bahan batunya sangat mungkin berasal dari masa singosari atau masa ketika candi itu direnovasi oleh Adityawarman. Kisah Parthayajna dan Kunjakarna, adalah kakawin yang ditulis Mpu Tanakung yang hidup pada masa akhir zaman Majapahit. Menurut P.J. Zoetmulder (1983), kedua kakawin itu dipahatkan sebagai relief  pada sebuah candi di Jawa Timur yakni Candi Jago.

Relief Kunjakarna yang menghiasi bagian teras Candi jago menceritakan Boddhicitta Wairocana di wihara yang sedang mengajarkan dharma kepada para Jina, Boddhisattwa, Bajrapani dan dewa-dewa. Pada saat yang sama yaksa bernama Kunjarakarna melakukan meditasi Buddha di Gunung Semeru agar dapat dibebaskan dari wataknya sebagai setan pada inkarnasi berikutnya.

Relief Parthahayajna menuturkan perjalanan Arjuna ke Gunung Indrakila guna melatih diri lewat tapabrata agar memperoleh bantuan senjata dari dewa. Gunung Indrakila adalah tempat ia bisa berjumpa dengan para dewa, tetapi harus melalui Resi Dwipayana, mahaguru dalam ajaran dan praktek Sivadharma. Resi Dwipayana mengajarai Arjuna tata cara untuk mencapai pembebasan dan persatuan dengan hakekat Siva. Setelah satu tahun, di Gunung Indrakila, Arjuna dikisahkan berhasil mencapai tujuannya di mana Siva menampakkan diri sebagai Hyang Kirata.

Relief Krisnayana dapat ditafsirkan sebagai suatu perwujudan kisah perkawinan Maharaja Wisynuwarddhana dengan Nararya Waning Hyun, yakni lambang perkawinan dewa Wisnu dengan dewi Sri  yang menitis dalam wujud Kresna dan Rukmini. Didalam kakawin krynayana disebutkan bahwa tokoh Prthukirti, ibu Rukmini, adalah adik Kunti dan Basudewa. jadi Kresna dan Rukmini adalah saudara sepupu. Hal itu sesuai dengan fakta bahwa Wisynuwarddhana adalah sepupu Waning Hyun. Pada akhirnya, Kresna berhasil menikahi Rukmini dan hidup bahagia dengan dikaruniai sepuluh orang anak.

NB : Berbagai Sumber 

Taurus Vocation

Candi Singosari


Candi Singosari terletak didesa Candirenggo, Kecamatan Singosari, Kabupaten Malang. Ditemukan pada sekitar awal abad 18 (tahun 1800-1850) dengan pemberian nama/sebutan Candi Menara oleh orang Belanda.  Mungkin pemberian nama ini disebabkan bentuknya yang menyerupai menara. Sempat juga diberi nama Candi Cella oleh seorang ahli purbakala bangsa Eropa dengan berpedoman adanya empat buah celah pada dinding-dinidng dibagian tubuhnya. Juga menurut laporan dari W. Van Schmid yang mengunjungi candi ini pada tahun 1856, penduduk setempat menamakan Candi Cungkup. Akhirnya nama yang hingga sekarang dipakai adalah Candi Singosari karena letaknya di Singosari, adapula sebagian orang menyebutnya dengan Candi Renggo karena letaknya didesa Candirenggo.

Menurut laporan tertulis dari para pengunjung Candi Singosari dari tahun 1803 sampai 1939, dikatakan bahwa Candi Singosari merupakan kompleks percandian yang luas. Didalam kompleks tersebut didapatkan tujuh buah bangunan candi yang sudah runtuh dan banyak arca berserakan disana-sini. Salah satu dari tujuh candi yang dapat diselematkan dari kemusnahan adalah candi yang sekarang kita sebut Candi Singosari. Adapun arca-arcanya banyak yang dibawa ke Belanda, sedangkan arca-arca yang saat ini berada dihalaman Candi Singosari sekarang ini, berasal dari candi-candi yang sudah musnah itu.

Bentuk bangunan Candi Singosari sendiri bisa dibilang istimewa, karena candi itu seolah-olah mempunyai dua tingkatan. Seharusnya bilik-bilik candi berada pada bagian badan candi, pada Candi Singosari justru terdapat pada kaki candi. Bilik-bilik tersebut pada awalnya juga terdapat arca didalamnya yakni disebelah utara berisi arca Durgamahisasuramardhini, sebelah timur berisi arca Ganesha dan dibagian selatan terdapat arca Resi Guru yang biasa terkenal dengan sebutan Resi Agastya. Namun saat ini hanya tinggal arca Resi Agastya saja, sedangkan arca lainnya telah dibawa ke Leidan - Belanda. Alasan mengapa arca resi Agastya tidak dibawa serta ke Belanda adalah mungkin dikarenakan kondisinya yang sudah rusak cukup parah, sehingga tidak layak dibawa sebagai hadiah kepada penguasa negeri belanda pada saat itu.

 Hal lain yang menarik untuk diamati pada Candi Singosari ini adalah hiasan candi. Umumnya bangunan candi dihias dengan hiasan yang rata pada seluruh badan atau bagian candi. Pada Candi Singosari kita tidak mendapatkan hal yang demikian. Hiasan Candi Singosari tidak seluruhnya diselesaikan. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa Candi Singosari dahulu belum selesai dikerjakan tapi kemudian ditinggalkan. Sebab-sebab ditinggalkan tersebut dihubungkan dengan dengan adanya peperangan, yaitu serangan dari raja Jayakatwang dari kerajaan Gelang-gelang terhadap Raja Kertanegara kerajaan Singhasari yang terjadi pada sekitar tahun 1292. Serangan raja Jayakatwang tersebut dapat menghancurkan kerajaan Singhasari. Raja Kertanegara beserta pengikutnya dibunuh.  Diduga  karena masa kehancuran (pralaya) kerajaan Singhasari itulah, maka Candi Singosari tidak terselesaikan dan akhirnya terbengkalai.
Ketidak selesaian bangunan candi ini bermanfaat juga bagi kita yang ingin mengetahui teknik pembuatan ornamen (hiasan) candi. Tampak bahwa hiasan itu dikerjakan dari atas ke bawah. Bagian atas dikerjakan dengan sempurna, bagian tubuh candi (tengah) sebagian sudah selesai sedangkan bagian bawah sama sekali belum diselesaikan.

Dihalaman Candi Singosari masih terdapat beberapa arca yang tersisa, beberapa diantaranya berupa tubuh dewa/dewi meskipun bisa dibilang tidak utuh lagi. Bahkan terdapat satu arca Dewi Parwati yang memiliki bagian kepala yang terlihat "aneh". nampaknya bagian tersebut bukan merupakan kepala arca yang sebenarnya. Karena kepala arca yang sebenarnya diduga putus dan tidak ditemukan kembali.

Berkunjung ke Candi Singosari ini sambil memegang buku panduan wisata yang bercerita tentang sejarah candi Singosari, sempat menimbulkan kesedihan dihati saya. Betapa tidak, dibeberapa bagian halaman buku tersebut terpampang jelas foto-foto arca yang telah dibawa ke negeri Belanda, lengkap beserta penjelasan posisi/sikap beserta atribut-atibut yang dikenakan oleh tokoh arca tersebut. Foto-foto yang ada menunjukkan bahwa apa yang mereka (penjajah) bawa kenegeri mereka, memang merupakan arca yang masih utuh dengan tingkat seni yang bisa dibanggakan. Suatu hal yang bisa dibilang "perampokan" oleh bangsa Belanda terhadap seni-budaya bangsa Indonesia..

NB : Berbagai Sumber 

Taurus Vocation